Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

In Memoriam George Junus Aditjondro


Kepergian George Junus Aditjondro menoreh banyak kenangan pada kiprahnya sebagai salah satu tokoh awal gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Juga di Papua jejaknya sangat kentara. 
Saya tidak mengenal khusus George Junus Aditjondro (GJA), namun jejaknya masih sangat basah dan nampak dengan sangat jelas dalam perjalanan hidup orang Papua. Dari berbagai literatur dan juga tutur para dedengkot LSM di Papua, boleh dibilang beliau adalah peletak pertama fondasi gerakan sipil di Papua. Usahanya telah dimulai sejak tahun 1980, hanya sekitar 11 tahun setelah PBB mengetok palu sebagai tanda Papua menjadi bagian integral dari negara Indonesia.
Bersama dengan Theo van den Broek, seorang Belanda yang kini menjadi warga negara Indonesia, dan seorang Delsos lainnya di Sorong, diskusi-diskusi atas keprihatian persoalan pelanggaran HAM di Papua mulai dilakukan di Biara Keuskupan Jayapura, di APO Jayapura. Perjalanannya ke Papua ketika itu adalah menjelang Natal tahun 1980. Sebagai seorang jurnalis Tempo, nuraninya jelas-jelas terganggu ketika melihat maraknya isu pelanggaran HAM di Papua. Diskusi inilah yang kemudian melahirkan sebuah Kelompok Kerja Oikumene yang disingkat KKO. Ini adalah kelompok kerja sama dua gereja besar di Papua, Gereja Katolik dan Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. Di dalamnya termasuk Arnold Ap, seorang kurator antropologi Universitas Cenderawasih (Uncen), Agustinus Rumansara, Pendeta (Emeritus) Phill Erari dan Michael Manufandu.

KKO ketika itu dibentuk untuk menyatukan berbagai gerakan para aktivis Papua agar kerja-kerja mereka lebih terorganisir. Dengan demikian persoalan kemanusiaan di Papua dapat lebih mendapat perhatian di tingkat nasional maupun intenasional. Dari sini kemudian terbentuk kelompok yang disebut IRJADISC. Ini adalah singkatan dari Irian Jaya Development Information Service Center. GJA didapuk menjadi Direktur IRJADISC. Kantor awalnya menggunakan bangunan museum Uncen, saat ini museum antropologi Uncen. Kantor ini dapat digunakan oleh IRJADISC karena kedekatan dengan Arnold Ap selaku antropolog Papua dan Daniel Ajamiseba sebagai Ketua Lembaga Antropologi Uncen.

Kegiatan IRJADISC ketika itu lebih banyak pada isu kesehatan dan lingkungan serta peningkatan ekonomi masyarakat. Karena itu, untuk mendorong percepatan informasi sekaligus sebagai media literasi di Papua, IRJADISC membuat sebuah bulletin yang diberi nama Berita Pembangunan Desa (BPD). Meski IRJADISC menggunakan salah satu bangunan di Uncen sebagai kantor, namun rumah GJA digunakan selama 24 jam untuk melayani masyarakat.

Dari sinilah mulai terlihat focus point dari gerakan masyarakat sipil di Papua. Di masa ini, jejaring di tingkat nasional telah berjalan dengan baik. Di antaranya dengan Walhi dan juga YLBHI, sehingga isu-isu pelanggaran HAM di Papua sudah mulai menjadi perhatian di tingkat nasional. Di tingkat internasional, beberapa lembaga di Australia dijadikan sebagai amplifier bagi suara ketertindasan masyarakat Papua.
Dalam perkembangannya, berita-berita yang disuguhkan oleh bulletin BPD semakin menujukkan kekritisannya. Bulletin ini dianggap sangat berani ketika mengungkap fakta-fakta sosial di masyarakat Papua, jika dibandingkan dengan kondisi situasi politik di masa itu. Karena itu, sekitar tahun 1984, IRJADISC merasa tidak lagi bisa bertahan di Uncen karena lembaga pendidikan di Papua ini telah banyak mendapatkan intimidasi.

Salah satu personelnya, yakni Arnold Ap dituduh oleh militer sebagai otak dibalik eksodus sekitar 10 ribu orang Papua ke Papua New Guinea (PNG). Personel legenda musik Papua, Mambesak, ini juga dituding terlibat dalam upaya kemerdekaan Papua. Dalam pandangan militer Indonesia ketika itu, Arnold Ap adalah Menteri Kebudayaan Republik Papua di bawah komando Brigjen Zeth Rumkorem. Arnold Ap kemudian ditemukan dalam keadaan meninggal dunia di Pasir 6, salah satu daerah di kota Jayapura setelah sebelumnya ditangkap oleh Kopasanda.

Bagi GJA, ini adalah pukulan telak terhadap keberlangsungan gerakan civil society di Papua. Akhirnya, kelompok ini kemudian memilih keluar dari lingkungan Uncen. Bulletin Berita Pembangunan Desa yang ketika itu juga berfungsi sebagai media pembelajaran literasi bagi masyarakat Papua kemudian berubah nama menjadi Kabar dari Kampung yang disingkat KdK.

Ketika itu, GJA juga telah menginisiasi lahirnya Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD). Lagi-lagi GJA didapuk menjadi direktur pertama yayasan ini. Bersama YPMD, kiprah bulletin KdK telah merambah dunia internasional, terutama di Australia. Menurut GJA, YPMD dan bulletin KdK adalah model kerjasama intelektual penduduk asli Papua dengan penduduk amber (sebutan untuk pendatang di Papua). Peranan bulletin KdK sangat besar dalam membantu mendidik masyarakat Papua. Dengan pendekatan media seperti ini, masyarakat dapat didik dengan cara membaca dan mengekspresikan kebutuhan masyarakat di tempatnya masing-masing.

Selain menginisiasi lahirnya YPMD, GJA juga tidak lupa menyoroti peran perempuan Papua. Ini tidak saja berhubungan dengan peran mereka dalam hal ekonomi, namun lebih luas hingga pada pentingnya pendidikan dan kesetaraan perempuan Papua. Di zamannya, lahirlah sebuah gerakan perempuan yang diberi nama Kelompok Kerja Wanita (KKW). Dan untuk memberikan advokasi terhadap berbagai persoalan hukum dan pelanggaran HAM di Papua, bersama sejumlah aktivis di zamannya, GJA memaksa YLBHI untuk membuka LBH Papua. Bambang Widjajanto, mantan Direktur YLBHI dan komisioner KPK menjadi Direktur LBH Papua pertama.

Dedikasi

GJA telah mendedikasikan hidupnya untuk sebuah gerakan pembebasan dalam makna yang sangat luas. Usai berjibaku dan melumuri dirinya dengan berbagai persoalan di Papua, pada sekitar tahun 1994 hingga 1995, beliau menyuarakan persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur, provinsi yang akhirnya lepas dari Indonesia. Akibat sikap kritisnya terhadap Soeharto, beliau sempat ‘mengungsi’ ke Australia pada tahun 1995 hingga 2002. Beliau juga dicekal untuk tidak boleh berkunjung ke Indonesia oleh rezim Soeharto. Karena pencekalan Soeharto inilah, beliau sempat dilarang oleh pihak imigrasi Thailand ketika GJA pada tahun 2006 hendak menghadiri sebuah lokakarya di negeri gajah putih itu.

Pada Desember 2009, beliau membuat heboh Indonesia ketika meluncurkan buku Membongkar Gurita Ciekas: di Balik Skandal Bank Century. Ketika itu, Susilo Bambang Yudoyono yang menjadi sorotan utama dalam buku itu masih menjadi Presiden Indonesia.

Kehebohan akibat Membongkar Gurita Ciekas ini mungkin menjadi momen terkahir beliau secara fisik melakukan perlawanan terhadap berbagai ketidakberesan negeri ini. Pemberontakannya kemudian dilakukan dengan banyak menulis artikel di berbagai media massa nasional sambil bertarung melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

Seorang jurnalis Papua, Aprila Wayar, dalam salah satu reportasenya tentang GJA di Tabloid Jubi pada tahun 2012 menuliskan kondisi beliau yang sedang tergolek karena sakit. Ketika itu, Wayar yang berkunjung bersama sejumlah mahasiswa UKDW asal Papua ke kediaman GJA di Yogyakarta. Pada sebuah moment dalam perjumpaan itu, beliau terlihat menangis ketika mendengar lagu yang dinyanyikan anak-anak muda Papua yang menjenguknya itu.

Lagu yang mereka nyanyikan ini memang sangat popular di Papua, salah satu liriknya adalah sebagai berikut:

“.... satu kapal pun berlabuh
Di Pelabuhan Hollandia
Selamat tinggal, selamat jalan
Kekasihku ...”

Kabar duka itu akhirnya datang dari sebuah kota kecil, di Palu, Sulawesi Tengah, tempat beliau menikmati hari-hari terakhirnya. Sabtu, 10 Desember 2016, pukul 5.45 waktu Palu, beliau berpulang menghadap penciptanya. Kepergiannya pada hari HAM Internasional seakan menjadi penghormatan manusia terhada dedikasinya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dan itu sekaligus menjadi penggenap usia 36 tahun pergumulannya dengan Papua. Beliau hadir di Papua menjelang Natal tahun 1980, dan akhirnya pergi untuk selama-selamanya, juga menjelang Natal 2016.
Selamat jalan, pejuang! Semangatmu akan terus hidup dalam keseharian kami, karena dedikasimu untuk kemanusiaan telah menjadi darah dan nadi kami.

Penulis: Hardin Halidin
adalah Aktivis Ilalang Papua
Editor : Trisno S Sutanto
  SATUHARAPAN.COM