Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mempercepat Reforma Agraria

Mempercepat Reforma Agraria
R Yando Zakaria  ;   Praktisi Antropologi;
Peneliti Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta
                                                        KOMPAS, 12 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada 14 Maret, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla melakukan pertemuan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Pertemuan ini membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Termasuk di dalamnya upaya menyelesaikan kesenjangan yang ada melalui reforma agraria.

Presiden Jokowi memang telah menetapkan reforma agraria sebagai program prioritasnya. Target program akan dicapai melalui dua skema: melalui legislasi dan redistribusi lahan (seluas 9 juta hektar); serta melalui pelaksanaan program perhutanansosial (seluas 12,7 juta hektar).

Program perhutanan sosial akan dilakukan melalui alokasi sumber daya hutan yang dikuasai negara kepada masyarakat, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial (PS). Peraturan ini menegaskan, PS adalah �sistem pengelolaan hutan lestari yang dilakukan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.�

Melalui kebijakan ini, pemerintah ingin: (a) menciptakan dan mempercepat pemerataan akses dan distribusi aset sumber daya hutan; (b) menyelesaikan konflik tenurial di kawasan hutan; dan (c) mengurangi kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan.

Menurut Wiratno (2016), target pemerintah itu setara 10 persen dari keseluruhan kawasan hutan negara. Kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) seperti saat ini, merujuk data 2010-2014 dan 2015-Juli 2016, nyatanya pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola dan/atau izin 200.000-300.000 hektar per tahun. Artinya, target 2,5 juta hektar per tahun periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai.

Belum lagi hambatan pendanaan program. Namun, menurut Mubariq Ahmad�ekonom senior cum praktisi dunia PS�sebenarnya pemerintah punya banyak dana untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya, dana itu dikelola dalam kapling-kapling kecil dan dikuasai raja-raja kecil yang hasilnya kecil juga.

Oleh karena itu, catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan jaringan kerja multi-pihakuntuk ditinjau ulang harus mendapat perhatian yang serius.

Mempermudah proses

Kendala lain rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai perizinan: dari kelompok tani hutan hingga menteri! Walaupun ada pengecualian pada provinsi yang telah memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, atau punya peraturan gubernurtentang PS dan memiliki anggaran dalam APBD.

Adanya pengecualian itu sebenarnya mengindikasikan adanya kemungkinan pendelegasian kewenangan. Hal ini sesuai pembagian kewenangan antara pusat dan daerah, sebagaimana telah diatur dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah.

Oleh karena itu, alih-alih sekadar pengecualian, pendelegasian kewenangan kepada provinsi melalui gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya sebagai pilihan utama untuk menggantikan posisi pusat melalui Menteri LHK. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan kepada dinas kehutanan, misalnya. Dengan demikian, peran pusat betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan dan pengendalian kegiatan di tingkat lapangan, antara lain kebijakan kawasan hutan yang dapat dialokasikan.

Dalam satu dasawarsa terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Maka, dalam rangka mempercepat proses perizinan, bukan tidak mungkin persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan PS dikeluarkan oleh pimpinan KPH.

Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan bermasalah, itu soal lain. Kondisi itu tak lain akibat kebijakan tentang KPH itu sendiri. Artinya, jika KPH yang menerima pendelegasian kewenangan itu, tentu sejumlah perubahan kebijakan tentang keberadaan KPH harus dilakukan. Pilihan ini jadi masuk akal karena KPH memang sejak awal diasumsikan sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami karakter masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.

Konflik tenurial

Ingin dikatakan di sini, sejatinya di mana kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu akan diletakkan bukanlah soal substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan sah. Akan tetapi, merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente.

Di pengujung tahun lalu Presiden memang telah menyerahkan surat keputusan tentang pengakuan hutan adat pada sembilan komunitas masyarakat adat. Luas hutan yang diserahkan itu sekitar 13.500 hektar, yang akan dinikmati oleh sekitar 5.000 keluarga. Pada masa sebelumnya, khususnya sejak reformasi 1998, sudah ada pula pengakuan pada hutan adat seluas 15.000 hektar.

Apakah ini cara penyelesaian persoalan yang tepat dan cepat? Jelas tidak. Pada 2014 saja, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat sedikitnya terjadi 472 konflik agraria dengan luasan mencapai 2.860.977,07 hektar. Konfik ini melibatkan sedikitnya 105.887 keluarga. Belum lagi, pada masa Menteri Kehutanan Kabinet Gotong Royong II pernah disebutkan, dari sekitar 74.000, desa ada 33.000-an desa yang batas wilayahnya tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Sebagaimana diatur dalam UU No 6/2014 tentang Desa, pada Pasal 26 Ayat (2) butir j disebutkan, dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berwenang mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Selain itu, pada Pasal 76 Ayat (1) disebutkan, aset desa antara lain berupa hutan milik desa.

Merujuk dua pengaturan ini, maka dalam rangka menyelesaikan konflik tata batas antara desa dan kawasan hutan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar dan dalam kawasan hutan, pemerintah bisa mempercepat pelaksanaan PS. Khususnya dalam bentuk program hutan desa dan juga hutan adat melalui penetapan desa adat (Zakaria, 2016).

Dengan cara itu, kecuali mencapai target program, cara ini sekaligus juga akan mempercepat pelaksanaan program perhutanan sosial itu sendiri dan konflik tata batas.

Andai saja untuk 33.000 desa yang memiliki konflik tata batas itu dapat dialokasikan 100 hektar saja, maka pelaksanaan program hutan desa ini akan mampu direalisasikan pada 3.300.000 hektar, atau sekitar 25 persen dari target program perhutanan sosial secara keseluruhan. Jika masing-masing dialokasikan 1.000 hektar, maka realisasi reforma agraria akan jadi dua kali lipat. Apalagi jika ada keinginan politik untuk merealisasikan nomenklatur desa adat versi UU Desa. ?